MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH
(MBS)
Disusun oleh Kelompok V
Nama
|
NIM
|
Didin
Saehudin Akhmad
|
2321110037
|
Mamat
Rahmat
|
2321110091
|
Mamad
|
2321110090
|
Aina
Mulyana
|
2321110015
|
1.
Pengantar
Telah banyak usaha peningkatan
mutu pendidikan di tingkat pendidikan dasar tetapi hasilnya tidak begitu
menggembirakan. Dari berbagai studi dan pengamatan langsung di lapangan, hasil
analisis menunjukkan bahwa paling tidak ada tiga faktor yang menyebabkan mutu
pendidikan tidak mengalami peningkatan secara merata.
ü Pertama, kebijakan penyelenggaraan
pendidikan nasional yang berorientasi pada keluaran pendidikan (output) terlalu
memusatkan pada masukan (input) dan kurang memperhatikan pada proses
pendidikan.
ü Kedua, penyelengaraan pendidikan
dilakukan secara sentralistik. Hal ini menyebabkan tingginya ketergantungan
kepada keputusan birokrasi dan seringkali kebijakan pusat terlalu umum dan
kurang menyentuh atau kurang sesuai dengan situasi dan kondisi sekolah
setempat. Di samping itu segala sesuatu yang terlalu diatur menyebabkan
penyelenggara sekolah kehilangan kemandirian, insiatif, dan kreativitas. Hal
tersebut menyebabkan usaha dan daya untuk mengembangkan atau meningkatkan mutu
layanan dan keluaran pendidikan menjadi kurang termotivasi.
ü
Ketiga, peran serta masyarakat terutama
orangtua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini hanya terbatas pada
dukungan dana. Padahal peran serta mereka sangat penting di dalam proses-proses
pendidikan antara lain pengambilan keputusan, pemantauan, evaluasi, dan
akuntabilitas.
Atas dasar pertimbangan tersebut,
perlu dilakukan reorientasi penyelengaraan pendidikan melalui Manajemen
Berbasis Sekolah (School Based Management).
2. Faktor Pendorong Perlunya Desentralisasi Pendidikan
Saat ini sedang berlangsung
perubahan paradigma manajemen pemerintahan. Beberapa perubahan tersebut antara
lain,
ü Orientasi manajemen yang
sarwa negara ke orientasi pasar. Aspirasi masyarakat menjadi pertimbangan
pertama dalam mengolah dan menetapkan kebijaksanaan untuk mengatasi persoalan
yang timbul.
ü Orientasi manajemen
pemerintahan yang otoritarian ke demokrasi. Pendekatan kekuasaan bergeser ke
sistem yang mengutamakan peranan rakyat. Kedaulatan rakyat menjadi pertimbangan
utama dalam tatanan yang demokratis.
ü Sentralisasi kekuasaan
ke desentralisasi kewenangan. Kekuasaan tidak lagi terpusat di satu tangan
melainkan dibagi ke beberapa pusat kekuasaan secara seimbang.
ü Sistem pemerintahan yang
jelas batas dan aturannya seakan-akan menjadi negara yang sudah tidak jelas
lagi batasnya (boundaryless organization) akibat pengaruh dari tataaturan global. Keadaan ini membawa akibat
tata-aturan yang hanya menekankan tataaturan nasional saja kurang menguntungkan
dalam percaturan global.
Fenomena ini berpengaruh
terhadap dunia pendidikan sehingga desentralisasi pendidikan adalah sesuatu
yang tidak bisa dihindari. Tentu saja desentralisasi pendidikan bukan
berkonotasi negatif, yaitu untuk mengurangi wewenang atau intervensi pejabat
atau unit pusat melainkan lebih berwawasan keunggulan. Kebijakan umum yang
ditetapkan oleh pusat sering tidak efektif karena kurang mempertimbangkan
keragaman dan kekhasan daerah.
Disamping itu membawa dampak
ketergantungan sistem pengelolaan dan pelaksanaan pendidikan yang tidak sesuai
dengan kebutuhan masyarakat setempat (lokal), menghambat kreativitas, dan menciptakan
budaya menunggu petunjuk dari atas. Dengan demikian desentralisasi pendidikan bertujuan
untuk memberdayakan peranan unit bawah atau masyarakat dalam menangani
persoalan pendidikan di lapangan. Banyak persoalan pendidikan yang sepatutnya
bisa diputuskan dan dilaksanakan oleh unit tataran di bawah atau masyarakat.
Hal ini sejalan dengan apa yang terjadi di kebanyakan negara. Faktor-faktor
pendorong penerapan desentralisasi menurut Miftah Thoha, Ph.D (1999) terinci sbb.:
§
tuntutan orangtua, kelompok masyarakat, para legislator,
pebisnis, dan perhimpunan guru untuk turut serta mengontrol sekolah dan menilai
kualitas pendidikan.
§ anggapan bahwa struktur
pendidikan yang terpusat tidak dapat bekerja dengan baik dalam meningkatkan
partisipasi siswa bersekolah.
§ ketidakmampuan birokrasi
yang ada untuk merespon secara efektif kebutuhan sekolah setempat dan
masyarakat yang beragam.
§ penampilan kinerja
sekolah dinilai tidak memenuhi tuntutan baru dari masyarakat
§ tumbuhnya persaingan dalam
memperoleh bantuan dan pendanaan.
Desentralisasi pendidikan,
mencakup tiga hal, yaitu;
a) manajemen berbasis lokasi
(site based management).
b) pendelegasian wewenang
c) inovasi kurikulum.
Pada dasarnya manajemen berbasis
lokasi dilaksanakan dengan meletakkan semua urusan penyelenggaraan pendidikan
di sekolah. Pengurangan administrasi pusat adalah konsekwensi dari yang pertama
dengan diikuti pendelegasian wewenang dan urusan pada sekolah. Inovasi
kurikulum menekankan pada pembaharuan kurikulum sebesar-besarnya untuk
meningkatkan kualitas dan persamaan hak bagi semua peserta didik. Kurikulum
disesuaikan benar dengan kebutuhan peserta didik di daerah atau sekolah. Pada
kurikulum 2004 yang akan diberlakukan, pusat hanya akan menetapkan
kompetensi-kompetensi lulusan dan materi-materi minimal. Daerah diberi
keleluasaan untuk mengembangkan silabus (GBPP) nya yang sesuai dengan kebutuhan
peserta didik dan tuntutan daerah. Pada umumnya program pendidikan yang
tercermin dalam silabus sangat erat dengan program-program pembangunan daerah.
Sebagai contoh, suatu daerah yang menetapkan untuk mengembangkan ekonomi
daerahnya melalui bidang pertanian, implikasinya silabus IPA akan diperkaya
dengan materi-materi biologi pertanian dan hal-hal lain yang berkaitan dengan
pertanian.
Manajemen berbasis lokasi yang
merujuk ke sekolah, akan meningkatkan otonomi sekolah dan memberikan kesempatan
kepada tenaga sekolah, orangtua, siswa, dan anggota masyarakat dalam pembuatan
keputusan.
Berdasarkan hasil-hasil kajian
yang dilakukan di Amerika Serikat, Site Based Management merupakan strategi
penting untuk meningkatkan kualitas pembuatan keputusan-keputusan pendidikan
dalam anggaran, personalia, kurikulum dan penilaian. Studi yang dilakukan di El
Savador, Meksiko, Nepal, dan Pakistan menunjukkan pemberian otonomi pada
sekolah telah meningkatkan motivasi dan kehadiran guru. Tetapi desentralisasi
pengelolaan guru tidak secara otomatis meningkatkan efesiensi operasional. Jika
pengelola di tingkat daerah tidak memberikan dukungannya, pengelolaan semakin tidak
efektif. Oleh karena itu, beberapa negara telah kembali ke sistem sentralisasi
dalam hal pengelolaan ketenagaan, misalnya Kolombia, Meksiko, Nigeria, dan
Zimbabwe2.
Misi desentralisasi pendidikan
adalah meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan,
meningkatkan pendayagunaan potensi daerah, terciptanya infrastruktur
kelembagaan yang menunjang terselengaranya sistem pendidikan yang relevan
dengan tuntutan jaman, antara lain terserapnya konsep globalisasi, humanisasi,
dan demokrasi dalam pendidikan. Penerapan demokratisasi dilakukan dengan
mengikutsertakan unsur-unsur pemerintah setempat, masyarakat, dan orangtua
dalam hubungan kemitraan dan menumbuhkan dukungan positif bagi pendidikan. Kurikulum
dikembangkan sesuai dengan kebutuhan lingkungan. Hal ini tercermin dengan
adanya kurikulum lokal. Kurikulum juga harus mengembangkan kebudayaan daerah
dalam rangka mengembangkan kebudayaan nasional.
Proses belajar mengajar
menekankan terjadinya proses pembelajaran yang menumbuhkan kesadaran lingkungan
yaitu memanfaatkan lingkungan baik fisik maupun sosial sebagai media dan sumber
belajar, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan alat pemersatu bangsa.
3. Konsep Dasar MBS
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
pada hakikatnya adalah penyerasian sumber daya yang dilakukan secara mandiri
oleh sekolah dengan melibatkan semua kelompok kepentingan (stakeholder)
yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan
untuk memenuhi kebutuhan peningkatan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan
pendidikan nasional.
4. Ciri Manajemen Berbasis Sekolah
(MBS)
Apabila manajemen berbasis
lokasi lebih difokuskan pada tingkat sekolah, maka MBS akan menyediakan layanan
pendidikan yang komprehensif dan tanggap terhadap kebutuhan masyarakat di mana
sekolah itu berada.
Ciri-ciri manajemen sekolah yang
mengacu pada MBS:
ü Visi dan misi dirumuskan
bersama oleh Kepala Sekolah, Guru, unsur siswa, Alumni, dan Stakeholder;
ü RPS, RKS, RAKS mengacu
pada visi dan misi yang telah dirumuskan;
ü Penyusunan RAPBS/RAKS
sesuai dengan RPS/RKS yang disusun bersama oleh kepala sekolah, guru, dan
komite sekolah secara transparan;
ü Akuntabel (tanggung
gugat);
ü Otonomi sekolah terwujud
yang ditandai kemandirian dan dinamika sesuai dengan kebutuhan masyarakat;
ü Pengambilan keputusan
dilaksanakan secara partisipatif dan demokratis;
ü Terbuka menerima
masukan, kritik, dan saran dari pihak manapun demi penyempurnaan program;
ü Mampu membangun komitmen
seluruh warga sekolah untuk mewujudkan visi dan misi yang telah ditetapkan;
ü Pemberdayaan seluruh
potensi warga sekolah dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan;
ü Terciptanya suasana
kerja yang kondusif untuk peningkatan kinerja sekolah;
ü Mampu memberikan rasa
bangga kepada semua pihak (warga masyarakat dan sekolah);
ü Ada transparansi dan
akuntabilitas publik didalam melaksanakan seluruh kegiatan.
Dengan demikian, MBS yang akan
dikembangkan merupakan bentuk alternatif sekolah dalam program desentralisasi
bidang pendidikan, yang ditandai dengan adanya otonomi luas di tingkat sekolah,
partisipasi masyarakat yang tinggi tapi masih dalam kerangka kebijakan
pendidikan nasional. Tetapi semua ini harus mengakibatkan peningkatan proses
belajar mengajar. Sekolah yang menerapkan prinsip-prinsip MBS adalah sekolah
yang harus lebih bertanggungjawab (high responsibility), kreatif dalam
bertindak dan mempunyai wewenang lebih (more authority) serta dapat
dituntut pertanggungjawabannya oleh yang berkepentingan/tanggung gugat (public
accountability by stake holders).
Secara ringkas perubahan pola
manajemen pendidikan lama (konvensional) ke pola baru (MBS) dapat digambarkan
sebagai berikut:
Diharapkan dengan menerapkan
manajemen pola MBS, sekolah lebih berdaya dalam beberapa hal berikut:
ü menyadari kekuatan,
kelemahan, peluang, dan ancaman bagi sekolah tersebut
ü mengetahui sumberdaya
yang dimiliki dan “input” pendidikan yang akan dikembangkan
ü mengoptimalkan sumber
daya yang tersedia untuk kemajuan lembaganya
ü bertanggungjawab
terhadap orangtua, masyarakat, lembaga terkait, dan pemerintah dalam
penyelengaraan sekolah
ü persaingan sehat dengan
sekolah lain dalam usaha-usaha kreatif-inovatif untuk meningkatkan layanan dan
mutu pendidikan.
Hasil rumusan yang dihasilkan
peserta kemungkinan sangat banyak dan bervariasi. Pada akhir diskusi, fasilitator
bersama-sama peserta mencoba mengklasifikasi dan menggabungkan rumusan yang
sejenis sehingga diperoleh ciri-ciri Manajemen Berbasis Sekolah. Misalnya:
ü Upaya meningkatkan peran
serta Komite Sekolah, masyarakat, DUDI (dunia usaha dan dunia industri) untuk
mendukung kinerja sekolah
ü Program sekolah disusun
dan dilaksanakan dengan mengutamakan kepentingan proses belajar mengajar
(kurikulum), bukan kepentingan administratif saja.
ü Menerapkan prinsip
efektivitas dan efisiensi dalam penggunaan sumber daya sekolah (anggaran,
personil dan fasilitas)
ü Mampu mengambil
keputusan yang sesuai dengan kebutuhan, kemampuan, dan kondisi lingkungan
sekolah walau berbeda dari pola umum atau kebiasaan.
ü Menjamin terpeliharanya
sekolah yang bertanggung jawab kepada masyarakat.
ü Meningkatkan
profesionalisme personil sekolah.
ü Meningkatnya kemandirian
sekolah di segala bidang.
ü Adanya keterlibatan
semua unsur terkait dalam perencanaan program sekolah (misal: KS, guru, Komite
Sekolah, tokoh masyarakat,dll).
ü Adanya keterbukaan dalam
pengelolaan anggaran pendidikan sekolah
5.
Peran Serta Masyarakat (PSM)
Tiap pekerjaan mutlak memerlukan
adanya pertanggunggugatan (accountability). Sampai sekarang sekolah merasa
hanya bertanggung jawab (responsible) kepada Pemerintah atau Yayasan
yang memberi uang dan kewenangan. Tidak ada yang merasa bertanggung gugat
kepada masyarakat. Seharusnya, karena sekolah mendidik anak (dari masyarakat),
maka sekolah harus bertanggung jawab kepada masyarakat tentang pelaksanaan tugasnya,
penggunaan dana (apa kekurangannya dan bagaimana mengharap bantuan dan
dukungan
masyarakat untuk mendidik anak
secara bersama).
Banyak pengalaman yang
menyatakan bahwa jika sekolah dikelola secara terbuka dan siap
bekerjasama, akan mengundang simpati sehingga masyarakat akan merasa senang memberikan dukungan atau bantuan yang
diperlukan sekolah dalam usaha peningkatan layanan pendidikan untuk anak-anak
mereka.
Untuk dapat mencapai hal
tersebut perlu diterapkan konsep Transparansi (Keterbukaan) dan Akuntabilitas
(Pertanggung-gugatan). Jika manajemen sekolah semakin terbuka dan akuntabel,
maka semakin meningkat pula kepercayaan masyarakat terhadap sekolah dan
meningkat pula perasaan memiliki terhadap sekolah.
·
Transparan/Terbuka, hal ini diperlukan dalam rangka menciptakan kepercayaan timbal
balik antar stakeholder melalui penyediaan informasi dan menjamin
kemudahan dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai.
·
Akuntabel/Bertanggung-gugat,segala pelaksanaan rencana kegiatan diusahakan dapat
meningkatkan akuntabilitas (pertanggung-gugatan) para pengambil keputusan dalam
segala bidang yang menyangkut kepentingan masyarakat luas
6.
Mengapa PSM perlu
1) Pendidikan adalah
tanggung jawab bersama keluarga, masyarakat, dan Negara;
2) Keluarga bertanggung
jawab untuk mendidik moralitas/agama, menyekolahkan anaknya serta membiayai
keperluan pendidikan anaknya;
3) Anak berada di sekolah
antara 6–9 jam saja, selebihnya berada di luar sekolah (rumah dan lingkungannya).
Dengan demikian, tugas keluarga amat penting untuk menjaga dan mendidik anak;
4) Pendidikan adalah
investasi masa depan anak.Oleh karena itu, memerlukan biaya dan tenaga. Keberatankah
orangtua membayar iuran yang ditetapkan sebesar Rp 3.000 tiap bulan, sementara mereka
tidak keberatan kehilangan Rp 3.000 tiap hari untuk membeli rokok? Mungkinkah
anak menjadi pandai tanpa keluar biaya? Kita akan segera memasuki era
globalisasi, dan jika anak kita tidak terdidik, kita akan kalah bersaing dengan
bangsa lain;
5) Anak perempuan perlu
mendapat pendidikan setinggi anak laki-laki mengingat mereka akan menjadi ibu
dari bayi-bayinya. Ibu lebih dekat kepada anak dan mendidik anak perlu
pengetahuan yang memadai agar tidak salah didik/asuh;
6) Masyarakat berhak dan
berkewajiban untuk mendapatkan dan mendukung pendidikan yang baik. Kewajiban
mereka tidak hanya dalam bentuk sumbangan dana, tetapi juga ide dan gagasannya;
7) Pemerintah berkewajiban
membuat gedung sekolah, menyediakan tenaga/guru, melakukan standarisasi
kurikulum, menjamin kualitas buku paket, alat peraga, dan sebagainya. Karena kemampuan
pemerintah terbatas, maka peran serta masyarakat akan sangat diperlukan.
8) Kemampuan pemerintah
terbatas sehingga mungkin tidak mampu untuk mengetahui secara rinci nuansa
perbedaan di masyarakat yang berpengaruh pada bidang pendidikan. Jadi
masyarakat berkewajiban membantu penyelenggaraan pendidikan;
9) Masyarakat dapat
terlibat dalam memberikan bantuan dana, pembuatan gedung, lokal, pagar, dan
sebagainya. Masyarakat juga sebetulnya dapat terlibat dalam bidang Teknis Edukatif,
seperti: proses belajar mengajar, menyediakan diri menjadi tenaga pengajar,
membicarakan pelaksanaan kurikulum, kemajuan belajar, dan sebagainya;
10) Idealnya, sekolah
bertanggung jawab kepada pemerintah dan juga kepada masyarakat sekitarnya.
11) Bantuan teknis edukatif
juga sangat mungkin diberikan, seperti: menyediakan diri menjadi tenaga
pengajar, membantu anak berkesulitan membaca, menentukan dan memilih guru baru yang
mempunyai kualifikasi, serta membicarakan pelaksanaan kurikulum dan kemajuan
belajar;
12) Dalam konsep MBS, peran
serta masyarakat memang amat luas, tapi karena berbagai sebab pelaksanaannya
masih terbatas pada hal-hal berikut:
a) Keterlibatan masyarakat
(orang tua murid, anggota Komite Sekolah, tokoh masyarakat, dsb) hanya dalam
bentuk dukungan dana atau sumbangan yang berupa fisik saja;
b) Saat ini, PSM sudah
dapat dianggap baik jika dapat masuk dalam bidang pengelolaan sekolah, misalnya:
ikut merencanakan kegiatan sekolah dan kemungkinan pendanaannya.
c) Masyarakat juga
dimungkinkan ikut memikirkan penambahan guru yang tidak ada atau kurang, dan
bahkan menjadi "guru" pengganti, misalnya guru Agama, Kesenian, dan
Pramuka sampai pada mengganti guru mata pelajaran lainnya. Berdasar atas hal
tersebut, Komite Sekolah dan tokoh masyarakat benar-benar merupakan mitra
sejajar Kepala Sekolah dan para guru. Sayang hal tersebut belum menjadi bagian
di sekolah-sekolah kita.
7.
Jenis-jenis PSM
Ada bermacam-macam tingkatan
peran serta masyarakat dalam pembangunan pendidikan. Peran serta tersebut dapat
diklasifikasikan menjadi 7 tingkatan, yang dimulai dari tingkat terendah ke tingkat
yang lebih tinggi. Tingkatan tersebut terinci sebagai berikut:
1) Peran serta dengan
menggunakan jasa pelayanan yang tersedia. Jenis PSM ini adalah jenis yang paling
umum. Masyarakat hanya memanfaatkan jasa sekolah dengan memasukkan anak ke
sekolah.
2) Peran serta dengan
memberikan kontribusi dana, bahan, dan tenaga. Pada PSM jenis ini, masyarakat berpartisipasi
dalam perawatan dan pembangunan fisik sekolah dengan menyumbangkan dana, barang,
dan/atau tenaga.
3) Peran serta secara
pasif. Artinya, menyetujui dan menerima apa yang diputuskan oleh pihak sekolah
(komite sekolah), misalnya komite sekolah memutuskan agar orangtua membayar
iuran bagi anaknya yang bersekolah dan orangtua menerima keputusan tersebut
dengan mematuhinya.
4) Peran serta melalui
adanya konsultasi. Orangtua datang ke sekolah untuk berkonsultasi tentang masalah
pembelajaran yang dialami anaknya.
5) Peran serta dalam
pelayanan. Orangtua/masyarakat terlibat dalam kegiatan sekolah, misalnya orangtua
ikut membantu sekolah ketika ada studi banding, kegiatan pramuka, kegiatan
keagamaan, dsb.
6) Peran serta sebagai
pelaksana kegiatan yang didelegasikan/dilimpahkan. Misalnya, sekolah meminta orangtua/masyarakat
untuk memberikan penyuluhan pentingnya pendidikan, masalah jender, gizi, dsb.
Dapat juga berpartisipasi dalam mencatat anak usia sekolah di lingkungannya
agar sekolah siap menampungnya, menjadi nara sumber, guru bantu, dsb.
7) Peran serta dalam
pengambilan keputusan. Orangtua/masyarakat terlibat dalam pembahasan masalah
pendidikan (baik akademis maupun non akademis) dan ikut dalam proses
pengambilan keputusan dalam rencana pengembangan sekolah.
Daftar Pustaka
Donoseputro, M (1997) Pelaksanaan Otonomi Daerah Dalam Upaya
Pencapaian Tujuan Pendidikan: Mencerdaskan Kehidupan Bangsa dan Alat Pemersatu
Bangsa, Suara Guru 4: 3-6.
Miftah Thoha, Ph.D. “Desentralisasi Pendidikan”, Jurnal
Pendidikan dan Kebudayaan, No. 017, Tahun Ke-5, Juni 1999.
NCREL, 1995, Decentralization: Why, How, and Toward What
Ends? NCREL’s Policy Briefs, report 1, 1993 dalam Nuril Huda “Desentralisasi
Pendidikan: Pelaksanaan dan Permasalahannya”, Jurnal Pendidikan dan
Kebudayaan, No. 017, Tahun Ke-5, Juni 1999.
5
Gaynor, Cathy (1998) Decentralization
of Education: Teacher management. Washington, DC, World Bank dalam Nuri Huda
“Desentralisasi Pendidikan: Pelaksanaan dan Permasalahannya”, Jurnal
Pendidikan dan Kebudayaan, No. 017, Tahun Ke-5, Juni 1999.